Kenapa di Indonesia begitu sering terjadi konflik-bahkan pertikaian dan kerusuhan bersimbah darah-antar-umat atau sesama umat beragama? Apakah memang hubungan di antara para penganut agama selalu ditandai oleh konflik? Tidak adakah bukti-bukti sejarah yang memperlihatkan corak hubungan yang lebih positif, sejuk, dan membesarkan hati? Kalau terjadi konflik bermuatan agama, ataupun sebaliknya hubungan akrab di antara agama, faktor-faktor apa saja yang berperan? Apakah semua itu sepenuhnya karena faktor agama, atau ada faktor lain yang ikut berperan, bahkan lebih dominan? Kalau pun konflik sudah terjadi, apakah ada atau tidak jalan untuk mengatasinya?
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan agama-agama terus meningkat di masa-masa datang. Beriringan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita menyaksikan gelombang intensitas perjumpaan agama-agama dalam skala yang tidak pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi satu komunitas umat beragama yang bisa hidup secara eksklusif, menghindarkan diri dan terpisah dari lingkungan komunitas umat beragama lainnya. Untuk mengambil satu kasus, Amerika Serikat yang mungkin bagi sebagian orang dipandang sebagai sebuah “Negara Kristen” telah berubah menjadi Negara yang secara keagamaan paling beragam, dan demikian juga di Indonesia mengalami kecenderungan yang sama. Berbarengan dengan itu, gelombang globalisasi yang terus meningkat-dengan segala eksesnya seperti kosumerisme, hedonisme, promiskuitas dan sebagainya-mendorong banyak pengikut agama semakin agresif dalam pencarian otentisitas, baik dalam agama yang mereka peluk maupun dalam penghadapan dengan agama-agama lain. Pencarian otentisitas keagamaan secara sangat bersemangat, pada gilirannya cenderung berujung pada meningkatnya perjumpaan secara keras di antara agama-agama.
“Perjumpaan keras” pada masa kontemporer di antara umat beragama, sudah mulai sejak 1980-an. Sejak masa inilah apa yang disebut kelompok”Fundamentalis Kristen” menemukan momentumnya. Gerakan ini bukan hanya agresif dalam hubungan intra-Kristen(Protestan) sendiri, tetapi juga keluar dengan agama-agama lain. Dengan pemahaman bibilikal yang litral dan apokaliptik, yang diekspresikan dalam tema-tema seperti religious valuae, pro-life, prinsip anti-Darwinisme biologis dan Darwinisme sosial, kelompok-kelompok fundamentalis Krsiten membom klinik aborsi dan bar kaum homo/lesbian, membakar buku-buku yang tak sesuai dengan paham keagamaan mereka, serta berbagai tindakan kekerasan lainnya. Kasus paling fenomenal agaknya adalah aksi Timothy McVeigh yang atas nama Kristen meletakkan bom yang menghancurkan Federal Building di Oklahoma City, yang menewaskan 168 orang pada tahun 1995. Di kalangan Muslimin, peningkatan gejala perjumpaan yang keras itu mulai menemukan momentumnya dengan revolusi Islam Iran di bawah pimpinan Ayatullah Khomeni pada tahun 1979, kemudian kemunculan gelombang intifadhah di kalangan bangsa Palestina sejak 1980-an dan berlanjut sampai kini dalam perjuangan mereka melawan Israel, kemudian bangkitnya Talibalisnme di bawah pimpinan Usamah bin Leden, diikuti Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Persitiwa terakhir ini dijadikan banyak kalangan sebagai salah satu titik puncak dari perjumpaan secara keras atas nama agama, dalam hal ini Islam. Di Indonesia perjumpaaan secara keras itu juga seolah-olah menemukan momentumnya dengan kemunculan kelompok-kelompok. Penyebab perjumpaan keras sangat kompleks. Tetapi salah satu penyebab pokoknya berkaitan dengan kontes dan pergumulan dalam kehidupan politik dan kekuasaan, baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Kaum beragama tidak pernah beranjak pada pendirian-iman bahwa agama yang dianutnya adalah benar. Karena itu, agama selalu mengerjakan nilai intrinsiknya itu bagi keselamatan dan kesentosaan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Inilah agama sebagai ajaran, atau agama sebagi konstruksi nilai. Akan tetapi agama tidak pernah hadir dalam situasi vakum sejarah. Agama yang memang diperuntukkan bagi manusia, lantas mengalami’pemanusiaan”. Proses “pemanusiaan” inilah yang kemudian menjadikan agama menjadi peristiwa kebudayaan. Dan disinilah sesungguhnya titik mula munculnya berbagai paradox dalam kehidupan agama, karena agama menjadi berbeda dengan praktik keagamaan. Kesucian agama menjadi bercampur dengan nafsu duniawi manusia. Keluhuran agama bertemu dengan ambisi pribadi dan komunitas pemeluknya. Kemartabatan agama ditariktarik menjadi jembatan dan kendaraan bagi kepentingan penganutnya. Pancaran kedamaian agama bisa beralih rupa menjadi senjata penghancur bagi orang atau kelompok yang dinisbahkan sebagai musuh. Ringkasnya, agama yang hadir dalam rangka humanisasi-tidak jarang-mengalami degradasi martabat, dan kemudian menjadi penyebab terjadinya dehumanisasi. Di Indonesia perjumpaan keras antara agama bersumber setidak-tidaknya dari lima faktor. Pertama, penerbitan tulisan-tulisan yang diterbitkan kalangan pihak agama tertentu tentang agama lain yang dipandang para pemeluknya tidak sesuai dengan apa yang mereka imani dan, karena itu dianggap mencemarkan agama mereka; kedua, usaha penyebaran agama secara agresif; ketiga, penggunaan rumah sebagai tempat ritual secara bersama-sama atau pembangunan rumah ibadah di lingkungan masyarakat penganut agama lain; keempat, penetapan dan penerapan ketentuan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan membatasi penyebaran agama; dan kelima, kecurigaan timbal balik berkenaan dengan posisi dan peranan agama dalam Negara-bangsa Indonesia.
Di Barat pernah terjadi skeptisisme terhadap lembaga keagamaan karena dianggap korup dan terlibat berbagai konflik dan perang berdarah-darah. Munculnya faham humanism-sekularisme dan Marxisme antara lain dipicu oleh keboborokan organisasi dan penguasa gereja waktu itu yang menekan penalaran ilmiah serta lebih sibuk dengan perebutan kekuasaan dengan mengatasnamakan Tuhan. Butuh waktu sangat lama gereja dan agama-agama di Barat untuk bisa menarik kembali simpati masyarakat Barat yang sudah merasa hidup damai dan nyaman tanpa agama. Mereka percaya kepada Tuhan, tetapi enggan bergabung dengan lembaga keagamaan, Hal ini bukan hanya terjadi di Barat, tetapi di Indonesia pun gejala ini mulai tampak terjadi. Berbagai ekspresi keagamaan dengan bahasa kekerasan dan kebencian telah menimbulkan kekecewaan dan skeptisisme di kalangan remaja-remaja dan mereka yang tengah mempelajari agama. Agama yang selalu dibayangkan dan diharapkan sebagai sumber kedamaian dan kebajikan hidup ternyata diwarnai dengan fanatisme-ekstremisme yang tidak memberi ruang untuk berdialog dengan santun dan bersahabat.
Namun agama masih dilirik sebagai sesuatu yang menjanjikan peradaban baru. Agama masih diyakini akan memproduksi berbagai kearifan sejarah dan berikutnya mampu menawarkan resep-resep baru bagi pemecahan berbagai persoalan rumit yang dihadapi umat manusia. Artinya, di atas pundak agama masih diletakkan harapan bagi terciptanya berbagai tatanan baru-di tingkat lokal, regional maupun global-yang lebih bertenaga untuk mengangkat harkat, martabat dan derajat kemanusiaan. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana meletakkan sebagian optimisme dan bahkan peluang itu dalam konteks kehidupan keberagamaan di Indonesia. Hal ini menjadi bertambah penting lantaran klaim paling keras yang sering kita dengar adalah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious, dalam mana masyarakatnya memandang tinggi dan penting arti agama dalam menata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua agama di Indonesia diyakini pemeluknya akan mampu membawa”garam dan terang” dan menawarkan kontribusi bagi peningkatan harga diri bangsa yang sejati.
Salah satu agenda penting bagi peningkatan harkat kebangsaan kita adalah proses ‘demokratisasi’. Mampukah keyakinan pemeluknya bahwa agama-agama di Indonesia-Islam,Kristen, Katolik,Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, akan menjadi dasar dan contributor demokrasi serta mampu diterjemahkan menjadi energy positif bagi demokratisasi? Ataukah sebaliknya, praktik keagamaan yang berlangsung justru menjadi ancaman bagi demokratisasi? Jika secara potensial, praktik keberagamaan masih tetap terbuka untuk memukul demokrasi, apa saja yang harus dilakukan kaum beragama untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyelewengan agama? Secara teoritis, sesungguhnya pertanyaan itu bisa dijawab:
Pertama, agama harus menjadi terompet moral yang keras sekaligus ‘nyaman’ dalam berbagai dimensi kehidupan kebangsaan, apakah politik, ekonomi, hukum, kebudayaan dan sebagainya. Ketika nilai moralitas agama hadir dalam tubuh partai, birokrasi, lembaga kepresidenan, korporasi, perguruan tinggi, ormas,LSM, dan segenap komunitas bangsa, tanpa dibarengi formalitas kelembagaan yang berlebihan, maka agama akan menjadi’garam dan terang’ yang efektif.
Kedua,pluralitas agama dilanjutkan pada tahapan yang lebih substansial, yakni tradisi ‘pluralisme’. Tradisi pluralism dalam kehidupan beragama bukan saja dimaksudkan sebagai kesadaran para pemeluk agama yang memang berbeda-beda, tetapi juga kesadaran untuk menjadikan perbedaan itu sebagai sebuah kesadaran yang produktif bagi toleransi dan kerja sama kemanusiaan. Perlunya pendidikan kemajemukan, sehingga persahabatan menjadi perekat kemajemukan.
Ketiga, agama patut menjadi energi sosial bagi proyek besar melawan berbagai macam nilai dan praktik penindasan dan ketidakadilan, dalam pengertian yang seluas-luasnya. Energi masing-masing agama agama dioperasikan pemeluknya bukan untuk agresif dan menyerang pemeluk agama lain, tetapi untuk menyerang musuh-musuh sejati kemanusiaan. Makna pahlawan bagi kaum beragama juga berubah, dari heroism untuk menindas pemeluk agama lain menjadi kesuksesan untuk mengubur praktik-pratik ekonomi, monopoli politik, keboborokan hukum, intimidasi, tekanan, penghilangan nyawa dan sebagainya.
Keempat,menghindari sejauh mungkin pemanfaatan agama bagi kepentingan –kepentingan sempit dan berjangka pendek.(Politisasi agama). Hal ini bukan berarti memisah agama dengan politik, tetapi menempatkan agama sebagai pengangkat harkat politik menjadi lebih terhormat. Agama menjadi ‘garam dan terang’ bagi politik.
Kelima, jangan mengindentikkan agama dengan Allah. Agama dan Allah merupakan dua entitas yang terpisah. Agama adalah ibarat jendela. Jendela itu ada supaya kita bisa menikmati keindahan pemandangan taman bunga di luar. Kelirulah kita kalau kita menyamakan jendela dengan taman bunga.Adalah naïf kalau yang kita pandang adalah jendela, padahal pandangan kita seharusnya menembus jendela untuk memandangi taman bunga. Begitu juga kita keliru kalau agamalah yang jadi fokus, misalnya dengan berkonsenterasi pada bagaimana membuat agama lebih mulia dan lebih berkuasa. Bukankah segala kemuliaan dan kekuasaan hanya patut pada Allah?
HKBP Kebayoran Baru, 18 Januari 2012
Dr.Luhut P. Hutajulu MTh