Pendahuluan

Media menjadi bagian yang teramat penting dalam kehidupan manusia saat ini. Akselerasi hidup yang menuntut manusia untuk harus serba cepat, berakibat pada arus informasi yang diminta pun semakin deras. Terlebih lagi di era segala sesuatu serba on-line seperti belakangan ini. Media on-line tidak lagi hanya dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi saja. Media pemberitaan saat ini telah memanfaatkannya pula untuk mempercepat arus informasi dari para wartawan langsung ke khalayak. Tiap ada peristiwa yang baru terjadi, informasinya akan segera diterbitkan di media online. Sedangkan jika hanya mengandalkan media cetak seperti koran atau majalah, isi berita tersebut baru akan diketahui khalayak keesokan harinya. Media jejaring sosial (Social Network) seperti Facebook dan twitter tak luput dari bidikan media pemberitaan sebagai sarana pewartaannya.

Melihat perkembangan ini, media massa amat riskan untuk ditunggangi oleh kepentingan individu, kelompok, atau golongan tertentu. Seperti yang diutarakan oleh Marxian bahwa media massa berpotensi untuk menyebarkan ideologi dominan. Melalui kekuatannya yang amat besar untuk mempengaruhi opini masyarakat, akan amat terselubung ketika ada muatan-muatan tertentu yang berusaha disisipkan dalam pemberitaan sebuah media kepada masyarakat. Seperti apa yang mulai terjadi di Indonesia pasca reformasi ini. Beberapa media besar dikuasai oleh kepemilikan tertentu yang memeiliki kedekatan dengan pihak pemerintah atau politik oposisi. Surya Paloh, dengan Metro TV dan Harian Media Indonesia, dan Abu Rizal Bakrie, dengan TV One dan Antevenya, adalah dua seteru yang amat memanfaatkan media pewartaan sebagai sarana pembentukan opini di dalam masyarakat. Di dalam berita-berita yang diterbitkan oleh Metro TV dan TV One terutama, ada tendensi bagaimana keterpihakan dua media itu pada pemiliknya masing-masing. Dalam tulisan ini, akan ditelaah lebih jauh bagaimana pengaruh kepemilikan terhadap isi pemberitaan yang diterbitkan oleh Metro TV beserta media grup dan TV One bersama Bakrie grupnya. Hingga dapat dilihat mengenai hegemoni media yang berusaha dibangun melalui kekuatan media massa sebagai alat pembentuk opini publik.

Globalisasi 3.0

Menurut beberapa ahli, dunia saat ini memasuki era globalisasi 3.0. Hal ini disebutkan oleh Thomas L. Friedman, dalam bukunya yang berjudul The world is Flat, dengan menitikberatkan penyebaran arus informasi pada individu-individu manusia sendiri. Ketika pada masa globalisasi 1.0, peradaban digerakan oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Britania Raya dengan penguasaan terhadap samuderanya yang luas. Kemudian pada era globalisasi 2.0, identitas kemajuan zaman ditentukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Dimana mereka memiliki peranan amat besar pada arus uang dan barang yang beredar di dunia. Pada masa globalisasi 3.0 ini, individu memiliki peran yang amat besar. Berkembangnya teknologi komputer pribadi (Personal Computer) yang amat luas beserta jaringan internet, membuat individu dapat mengidentifikasi dirinya sendiri dan berhubungan dengan dunia atas identitas dirinya sendiri pula.

Dalam era ini, internet berkembang amat pesat dan semakin jauh menjadi kebutuhan wajib manusia. Melihat efisiensi dan kehandalan internet, tak heran sarana komunikasi ini menjadi amat fital di masa sekarang. Seseorang saat ini bukan lagi hanya menunggu informasi melainkan secara aktif mencari informasi itu sendiri. Individu memiliki akses yang lebih luas terhadap informasi yang bisa didapatkan dari sumber manapun. Berjuta situs tersebar di belantara internet, tiap situs menyediakan informasi yang sesuai dengan tujuan.

Selain itu, masih tak dapat dipungkiri peranan media elektronik lain seperti televisi dan radio. Dua media itu masih cukup penting dalam takaran sebagai media penyampai informasi publik. Sedangkan untuk media cetak seperti koran, mereka saat ini memanfaatkan perkembangan media internet sebagai media pendukungnya. Tak sedikit media massa cetak saat ini yang selain tetap menerbitkan edisi cetak, mereka pun membuat versi digital dengan menerbitkannya di website resmi mereka. Tiap salinan dari berita atau artikel di media cetak tersebut, akan dapat diakses pula secara bebas melalui media website. Bahkan saat ini, proses penyebaran informasi ini lebih cepat dengan bantuan media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.

Hal ini merupakan sebuah revolusi besar di dunia media. Dimana informasi semakin dekat dan amat mudah diakses oleh masyarakat. Bahkan bukan hanya mudah didapatkan, berita itu seakan-akan memang menghampiri masyarakat dan “memaksa” untuk dikonsumsi. Pasar media menjadi semakin luas. Pada beberapa tahun ke belakang, hanya mereka yang membutuhkan informasi saja yang rela berlangganan atau membeli koran di loper terdekat untuk kemudian membacanya di pagi hari. Bagi mereka yang tak terlalu berminat, maka akan tertinggal informasi. Berbeda dengan masa kini. Setelah munculnya televisi, proses informasi semakin cepat ketika seseorang tak perlu lagi membeli koran. Orang hanya cukup mengaktifkan pesawat televisi, dan memilih program berita yang ada. Namun kini, ritual tersebut menjadi lebih mudah lagi. Tanpa perlu dicari, informasi dapat datang dengan sendirinya melalui berlangganan feed rss di media-media jejaring sosial.

Fakta ini menggiring masyarakat saat ini pada keadaan dimana informasi amat berpengaruh dalam kehidupan. Melalui kemampuannya untuk membentuk opini publik, media dapat berpengaruh pada kondisi ekonomi, politik, atau pun sosial budaya. Khususnya di Indonesia, pasca reformasi tahun 1998, telah membuka pintu liberalisasi pers seluas-luasnya. Tiap warga negara dilindungi hak-haknya untuk mengungkapkan pendapat. Tak ada lagi pembredelan terhadap media massa yang terindikasi melawan kehendak pemerintah. Ketika masa pra-reformasi kekuatan eksekutif amat kuat, kini kendali kebijakan amat dipengaruhi oleh kehendak dan opini publik.

Masih diingat kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK, Bibit-Chandra, yang amat marak di media saat itu. Kasus yang kemudian meluas dengan sebutan “Cicak vs Buaya”, yang secara implisif menyimbolkan pertarungan antara KPK dengan Polri, mendapat perhatian amat besar dari masyarakat. Dimotori oleh media massa – media massa nasional yang mengangkat topik ini ke permukaan, melalui dunia jejaring sosial, masyarakat marak mendiskusikannya. Di Facebook saja, muncul beberapa group yang isinya memberikan dukungan kepada Bibit-Chandra dalam menghadapi kriminalisasi yang coba dilakukan terhadap KPK. Arus dukungan rakyat semakin besar, hingga pemerintah pun merasa terdesak, dan meminta kasus Bibit-Chandra untuk dihentikan pengusutannya.

Di satu sisi, kemajuan ini amat luar biasa. Rakyat kini memiliki kekuataan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sesuatu yang dianggap menyalahi nilai-nilai keadilan, dapat diperjuangkan melalui media massa untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan pemerintah. Ada fungsi media sebagai alat kontrol sosial yang mulai terealisasi di sini.

Namun, hal ini akan amat berbahaya ketika pemberitaan disisipi oleh kepentingan atau maksud-maksud yang menyalahi prinsip netralitas dalam pers. Seperti kasus pemecetan wartawan kompas dan detik pada tahun 2010 ini(Analisa 18-12). Kedua orang wartawan itu disangkutpautkan dengan insider trading pada penjualan saham perdana PT. Krakatau Steel. Dengan kapasitasnya sebagai wartawan, mereka membuat berita negatif terkait dengan PT. Krakatau Steel. Efek dari pemberitaan negatif ini adalah nilai saham yang jatuh dari penjualan saham perdana perusahaan BUMN tersebut. Di sini dapat diidentifikasi bagaimana pemberitaan bias yang disengaja oleh wartawan, dapat berpengaruh besar bagi pembentukan opini masyarakat. Ketika kepercayaan masyarakat turun akibat pemberitaan negatif tersebut, maka menyebabkan harga saham turun yang kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok orang.

Lebih jauh, efek negatif ini pun bisa terjadi ketika pemberitaan yang ada, dimanfaatkan untuk urusan partai seperti menonjolkan figur tertentu yang notabenya dia adalah pemilik dari media tersebut. Dengan demikian, hal ini dapat berujung pada hegemoni media yang akan melanggengkan kekuasaan pihak tertentu saja.

Hegemoni Media dan Kekuasaan

Dalam pandangan mazhab kritis, terutama dalam studi-studi yang dikembangkan oleh Centre for Contemporary Cultural studies, Birmingham University, media massa selalu dirasakan sebagai alat yang “powerfull” dan ada ideologi dominan di dalamnya. Hal ini yang disebut oleh para penggiat Cultural studies sebagai hegemoni media. Teori hegemoni ini dicetuskan oleh Gramsci yang merujuk pada kekuasaan dan praktis. Hegemoni merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Di sini, institusi media memberikan sebuah fungsi hegemoni yang secara terus menerus memproduksi sebuah ideologi yang kohesif (ideologi yang meresap), satu perangkat nilai-nilai common-sense dan norma norma yang memproduksi dan mengesahkan dominasi struktur sosial tertentu yang mana kelas–kelas sub-ordinasi berpartisipasi di dalam dominasi mereka itu. Bahkan lebih lanjut, Gitlin mendefenisikan hegemoni sebagai “rekayasa sistematik” kepatuhan massa untuk memapankan kekuasaan kelompok yang berkuasa.

Stuart Hall berpendapat Media massa cenderung mengukuhkan ideologi dominan untuk menancapkan kuku kekuasaannya melaui Hegemoni. Melalui media massa juga menyediakan frame work bagi berkembangnya budaya massa. Melalui media massa pula kelompok dominan terus-menerus menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasainya. Sedangkan menurut Mc. Luhan seorang pengkritik media ia mengatakan Media massa bukan hanya sebagai media pengirim pesan tapi juga mempengaruhi nilai-nilai budaya dan membuat stereotype mengenai gender, ras dan etnik, memiliki kontribusi terhadap pengalaman komunikasi dan bisa saja memonopoli dunia pemikiran seseorang.

Oleh karena itu, selama media masih dikuasai oleh ideologi dominan, mereka akan menggambarkan kelompok oposisi sebagai kaum marginal. bagi Hall dan koleganya, interpretasi teks media selalu muncul di dalam suatu pertarungan dari kontrol ideologis. Ronald Lembo dan Kenneth Tucker menggambarkan proses tersebut sebagai “arena kompetisi di mana individu atau kelompok mengekspresikan kepentingan yang berlawanan.[1]

Hegemoni media ini di Indonesia pernah dipraktikan semasa pemerintahan orde baru. Oleh pemerintah, media massa dijadikan sebagai alat propaganda dan pencitraan pemerintah. Sebelum tahun 1990-an, televisi di Indonesia hanya ada satu. Yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang dikelola oleh pemerintah. Seluruh pemberitaan yang ada diawasi oleh pemerintah. Tak ada kritik atau pemberitaan yang menyudutkan pemerintah saat itu. Semua dianggap baik-baik saja demi itikat untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional.

Sebaliknya, untuk media swasta, seperti koran dan majalah, memerlukan izin yang amat ketat untuk dapat terbit di Indonesia. Tiap ada media yang isi pemberitaannya dianggap suversif atau membahayakan posisi pemerintah, segera media itu akan dibredel, dan pemimpin atau pengurusnya terancam dijebloskan ke penjara. Oleh karena itu, meski media swasta, saat itu mayoritas media massa hanya memberitakan hal-hal yang disetujui saja oleh pemerintah.

Dari sini, terlihat bagaimana media massa benar-benar dimanfaatkan sebagai alat hegemoni rezim yang sedang berkuasa. Dengan isi pemberitaan yang diawasi ketat, masyarakat dibuat percaya bahwa keadaan di Indonesia adalah benar-benar stabil. Tak ada korupsi, penyelewengan, atau hal-hal yang mendiskreditkan pemerintah. Pemerintah, khususnya eksekutif, benar-benar memiliki posisi yang kuat. Sehingga di era reformasi ini, masih kerap ditemui ada masyarakat yang selalu beranggapan bahwa masa orde baru itu lebih baik dari era reformasi. Harga-harga murah, keamanan terjamin, dan sebagainya. Tak lain, konsepsi yang tertanam di mayoritas masyarakat ini adalah hasil dari hegemoni media yang berhasil dilancarkan eksekutif orde baru.

Lantas, apakah di era reformasi, ketika kebebasan pers telah dibuka seluas-luasnya, masih ada hegemoni media? Untuk menjawab semua itu, dapat dilihat dari fakta yang berada di belakang tiap media massa nasional Indonesia.

Di Indonesia, semenjak reformasi bergulir, mulai dikenalnya istilah konglomerasi media. Istilah ini mengacu pada kecenderungan beberapa media untuk saling bergabung di bawah kepemilikan satu orang atau kelompok. Beberapa contoh adalah bergabungnya dua stasiun televisi Trans TV dan TV 7 (yang kemudian berubah nama jadi Trans 7) di bawah naungan Trans Corp pimpinan Chairul Tanjung. Selain itu, kita mengenal pula Abu Rizal Bakrie, sebagai pimpinan dari Bakrie Group, yang menguasai stasiun televisi Anteve dan TV One. Ada pula yang telah bertahan cukup lama, Hary Tanoesoedibyo, dengan penguasaannya atas RCTI, Global TV, MNC TV, koran Seputar Indonesia, Trijaya FM, majalah Trust, dan situs berita on-line okezone.com. Terakhir, yang cukup populer pula, ada Media group yang menaungi Metro TV dan harian Media Indonesia dengan pimpinan utama Surya Paloh.

Dilihat sekilas, tak ada yang bermasalah dengan kepemilikan beberapa media massa di tangan satu orang. Dalam dunia bisnis, konglomerasi biasa terjadi untuk menghimpun kekuatan ekonomi yang lebih besar demi menghadapi saingan. Namun, dalam ranah pers, hal ini bisa jadi sangat berbahaya.

Pertama, penguasaan beberapa media oleh satu orang, dapat mengakibatkan isi pemberitaan yang monotone. Seperti pada media massa yang dikuasai oleh Hary Tanoesoedibyo. Dalam mewartakan sebuah issu, akan tercipta sudut pandang atau perspektif yang sama antara RCTI, MNC TV, harian Seputar Indonesia, atau Trijaya FM misalnya. Sebab dalam praktiknya, tiap media massa yang terlingkup dalam satu jaringan tersebut, memiliki visi dan kepentingan yang sama pula. Efek dari keseragaman ini tentu akan berakibat para masyarakat yang dirugikan. Meski berbeda media, tapi isi dan nada dalam berita yang disampaikan sama. Lebih jauh, bayangkan saja jika semakin banyak media yang dimiliki oleh satu orang yang sama. Maka isi pemberitaan akan semakin tidak variatif dan tak ada pertarungan opini yang terjadi.

Kedua, adalah potensi media sebagai alat politik pemiliknya. Ketika masa kampanye misalnya, isi pemberitaan yang disajikan cenderung akan terfokus untuk menonjolkan satu partai yang didukung pula oleh pemilik media massa tersebut. Sebaliknya, media massa itu dapat pula untuk menjatuhkan partai lain yang memang menjadi musuh politiknya. Hal ini seperti apa yang menjadi kecurigaan banyak orang pada Metro TV di pemilu 2009. Ada anggapan yang menilai Metro TV kurang berimbang dalam memberitakan Pemilu 2009. Pemberitaan condong kepada pencitraan positif partai Golkar yang Surya Paloh sebagai kader di dalamnya. Lebih jauh, media massa pun dapat pula dijadikan sebagai alat untuk terus menyerang pemerintah. Meski fungsi dasar media massa memang untuk kontrol sosial pemerintah, namun pemberitaan yang bias dan kepentingan pemilik yang ikut disisipkan, akan menjadikan pemberitaan yang diterbitkan tak berimbang lagi.

Ketiga, adalah kecenderungan media sebagai alat pencitraan dan pembenaran bagi pemiliknya. Tendensi ini amat jelas terlihat dengan pemberitaan yang dilakukan oleh TV One kepada kasus semburan lumpur di Sidoharjo. Di media massa lain, mayoritas akan mengatakan kasus tersebut sebagai “Lumpur Lapindo”. Sesuai dengan nama perusahaan yang dimiliki oleh Bakrie Group. Sedangkan oleh TV One, pemberitaan kasus tersebut selalu disebutkan dengan “Lumpur Sidorharjo” tanpa menyinggung nama perusahaan yang dipimpin pula oleh pemilik TV One tersebut. Dalam isi pemberitaannya, TV One juga selalu mengedepankan bahwa kasus tersebut disebabkan oleh fenomena alam seperti Gempa Yogya 2005, bukan human error seperti media massa lain.

Selain itu, media massa pun digunakan pula untuk sarana exposer tokoh yang menjadi pemiliknya. Seperti apa yang ada di Metro TV. Ketika ada pemberitaan yang seorang Surya Paloh berada di sana, akan ada waktu khusus yang menyiarkan pidato Surya Paloh secara panjang lebar. Begitu pula yang dilakukan oleh TV One. Ketika Abu Rizal Bakrie masuk dalam pemberitaan, maka akan ada sesi eksklusif yang menayangkan seluruh pembicaraan dari ketua Partai Golkar tersebut.

Dari analisa di atas, terlihat bagaimana berbahayanya media massa ketika dijadikan alat megemoni oleh pihak-pihak tertentu. Di Amerika Serikat, hal ini pun turut terjadi. Di negara yang mengaku paling demokratis ini, terjadi pula hegemoni media yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai media massa di bawah kendalinya. Terdapatlah lima besar penguasa media di Amerika Serikat seperti Time Warner, Disney, Murdoch’s News, Viacom, dan Bertelsmann. Mereka saling bersaing dan disinyalir pula membuat pemberitaan bias demi kepentingan pemiliknya yang menyalahi nilai-nilai demokrasi Amerika Serikat.

Persaingan antara Metro TV dan TV One

Saat ini, Metro TV dan TV One adalah dua stasiun TV terdepan di Indonesia dalam penyajian berita. Dua stasiun tersebut menitikberatkan publikasinya pada konten berita. Meski Metro TV sudah berdiri sejak tahun 2000 dan secara konsisten menayangkan konten berita, TV One yang sejak tahun 2008 berubah nama dari La TV, merupakan pesaing yang cukup kuat. Dengan sajian acara yang cukup kreatif, TV One mendapatkan porsi tersendiri di hati masyarakat. Ketika ingin melihat berita terkini, jika bukan Metro TV, ya TV One jadi pilihannya.

Selama masa kampanye 2009, antara Metro TV dan TV One terjalin hubungan yang baik. Mengingat bahwa Surya Paloh dan Abu Rizal Bakrie sama-sama kader partai Golkar, mereka sepakat untuk saling mendukung agar partai mereka mendapat suara sebanyak-banyaknya di Pemilu 2009. Namun, sejak pemilihan ketua umum Partai Golkar yang baru untuk menggantikan Jusuf Kala Oktober 2009, mulai terjadi persaingan antar kedua pengusaha tersebut.

Terpilihnya Abu Rizal Bakrie atau Ical sebagai ketua umum Partai Golkar, seakan menabuh genderang perang antar Surya Paloh dan dirinya. Pertarungan antar media milik mereka berdua pun dimulai. Hal ini terlihat di antaranya pada kasus Lapindo. Pada pemberitaan yang diterbitkan Media Group (termasuk di dalamnya Metro TV dan harian Media Indonesia), kasus tersebut selalu disebutkan dengan istilah “lumpur Lapindo”. Penggunaan kata tersebut tak lain adalah untuk memberikan penekanan bahwa bencana itu tertitik berat pada human error perusahaan Lapindo Brantas milik Bakrie Group. Gencar sekali pemberitaan mengenai ini dan terus menonjolkan peran perusahaan Lapindo sebagai “penyebab bencana”.

Sedangkan di TV One, pemberitaan masalah ini dilakukan dengan lebih hati-hati. Media ini seakan-akan ingin mati-matian membela pemiliknya. Seperti dalam penggunaan istilah. Pada kasus yang sama, TV One menyebutnya sebagai “lumpur Sidoharjo”. Bukannya mengangkat nama Lapindo yang merupakan salah satu anak perusahaan Bakrie Group. Mereka ingin memberikan kesan bahwa itu adalah bencana alam dan bukan karena kesalahan sebuah perusahaan yang bernama Lapindo tersebut. Lebih jauh, TV One pun acap kali menggunakan pandangan seorang ahli yang mengungkapkan hubungan antar gempa di Yogyakarta tahun 2005 dengan semburan lumpur di Sidoharjo tersebut.

Dalam kasus foto mirip Gayus yang tertangkap kamera sedang menonton pertandingan Tennis di Bali akhir tahun 2010 kemarin pun kedua media tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda. Pada kasus tersebut, disebut-sebut Gayus hendak menemui Abu Rizal Bakrie yang kebetulan sedang berada di Bali hari itu. Oleh Metro TV, selalu diungkapkan istilah foto mirip Gayus dan dugaan-dugaan bahwa pada saat yang sama, Ical berada pula untuk menonton pertandingan itu di sana. Sedangkan oleh TV One, kekuataan berita bahwa foto tersebut benarlah Gayus coba dilemahkan dengan menyebutkan bahwa fotografer Kompas yang mengambil gambar-gambar tersebut bukanlah wartawan yang biasa meliput berita-berita politik. Oleh TV One, hal tersebut dijadikan strategi agar pemirsa tidak terbawa opininya bahwa orang yang ada di foto tersebut benar-benar Gayus Tambunan. Selain itu, TV One pun tak mau menduga-duga apakah benar Gayus bermaksud untuk menemui Abu Rizal Bakrie di sana. Oleh Vinsencius Sitepu (2010)[2], diangkat bagaimana TV One malah mempertanyakan mengapa untuk menemui Ical, Gayus perlu jauh-jauh ke Bali? Sedangkan percakapan bisa dilakukan di Jakarta atau telepon.

Penutup

Hegemoni media pada media massa di Indonesia tak terlepas dari tujuan politik dan kepentingan tertentu. Apabila semasa Orde Baru media massa digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah, di era reformasi ini media massa dipegang oleh konglomerasi swasta yang memiliki tujuan yang lebih kompleks. Selain didasari oleh faktor ekonomis, untuk efisiensi dan keuntungan yang maksimal, media massa digunakan pula sebagai pemulus kendaraan politik ke posisi tertentu.

Dalam maksud ini, ada usaha melalui media massa yang dimiliki, untuk membangun opini di masyarakat, yang kemudian akan berdampak balik pada pemenuhan kebutuhan politisnya. Seperti bias dalam pemberitaan sebuah peristiwa, hal tersebut riskan disisipi kepentingan tertentu yang kemudian mendapatkan tanggapan dari masyarakat apakah pro atau kontra.

Seperti apa yang terjadi antara Metro TV dan TV One dalam pemberitaannya. Sesama televisi yang titik utama program-programnya adalah news atau berita, kedua media tersebut memiliki tendensitas berbeda yang disesuaikan dengan kepemilikan masing-masing. Tiap media berusaha melindungi dan mengedepankan tokoh yang berada di belakangnya melalui pemberitaan-pemberitaan yang diatur sedemikian rupa sudut pandangnya untuk kemudian disajikan ke masyarakat.

Oleh karena itu, sebagai masyarakat, perlu jeli dalam melihat berita atau wacana yang disajikan oleh media massa. Mengingat fakta bahwa media – media massa nasional Indonesia tengah dikuasai oleh para konglomerat media, konten berita yang disajikan tak dapat ditelan mentah-mentah begitu saja.

Daftar Referensi

“Kepemilikan Media dan Bias Berita”. http://vinsensius.info/?p=255 [Senin, 27 Desember 2010 pukul 08:00 WIB]

“Konglomerasi Media Massa sebagai Ajang Hegemoni Pembentukan Opini Publik”. http://pangerankatak.blogspot.com/2008/04/konglomerasi-media-massa-sebagai-ajang.html [Senin, 27 Desember 2010 pukul 09:00 WIB]

“Komunikasi Politik” http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/komunikasi-politik.html [Senin, 27 Desember 2010 pukul 09:30 WIB]

“Perang Representasi di Isu Gayus-Ical”. http://vinsensius.info/?p=56 [Senin, 27 Desember 2010 pukul 09:45 WIB]

“Mengerucutnya Kepemilikan Media Televisi di Indonesia”. http://nurulwibawacahya.blogspot.com/2007/01/mengerucutnya-kepemilikan-media.html [Senin, 27 Desember 2010 pukul 10:00 WIB]

“Konsep Hegemoni”. http://veggy.wetpaint.com/page/Konsep+Hegemoni [Senin, 27 Desember 2010 pukul 10:15 WIB]

“Media di Indonesia, Intervensi Modal, Kepemilikan, dan Regulasi dalam Pemberitaannya”. http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2010/06/16/media-di-indonesia-intervensi-modal-dan-kepemilikan-dalam-regulasi-dan-pemberitaannya/ [Senin, 27 Desember 2010 pukul 11:00 WIB]

“Konglomerasi Media, Kepemilikan Silang, Pemicu Monopoli Pemberitaan”. http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2010/09/22/opini-konglomerasi-media-kepemilikan-silang-pemicu-monopoli-pemberitaan/ [Senin, 27 Desember 2010 pukul 11:30 WIB]

“Pentingnya Regulasi terhadap Monopoli dan Konglomerasi Media”. http://bincangmedia.wordpress.com/2010/05/31/pentingnya-regulasi-atas-konglomerasi-dan-monopoli-kepemilikian-media/ [Senin, 27 Desember 2010 pukul 12:00 WIB]

“TV One”. http://id.wikipedia.org/wiki/TvOne [Senin, 27 Desember 2010 pukul 13:00 WIB]

“Metro TV”. http://id.wikipedia.org/wiki/MetroTV [Senin, 27 Desember 2010 pukul 13:00 WIB]

“Globalisasi 3.0”. https://rahard.wordpress.com/2005/12/27/globalisasi-30/ [Senin, 27 Desember 2010 pukul 15:00 WIB]

[1] Teori dan ko